Monday, October 26, 2009

Strategi Ekonomi Induk

Strategi Ekonomi Induk Tanggal: 26 Oktober 2009

Sumber: infobanknews.com PEREKONOMIAN Asia selama empat dekade terakhir ini mengalami kemajuan bertahap, setidaknya dalam tiga fase. Kawasan inilah yang sekarang merajai ekonomi dan perdagangan dunia dengan tingkat pertumbuhan yang moderat dan cukup tinggi. Sementara, kawasan-kawasan lain, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa, bertumbuh negatif dan rendah.

Perkembangan fase pertama dari perekonomian Asia terjadi pada 1970-an. Pada fase ini Jepang muncul sebagai negara industri, yang mampu menyaingi negara industri lain.

Fase kedua adalah kemunculan negara-negara kecil tetapi efisien, seperti Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Selanjutnya, pada dua dekade terakhir ini muncul dua raksasa ekonomi, yaitu Cina dan India.

Mengapa negara-negara Asia tersebut sukses dalam perekonomiannya? Jawabannya tidak lain karena strategi ekonomi induk yang dijalankan pertama kali adalah strategi bersaing ke pasar internasional. Inilah kunci keberhasilan pertama, yang telah dijalankan.

Memang pada periode berikutnya pemerintah Cina dan India  melakukan kombinasi penguatan pasar dalam negeri karena penduduk kedua negara ini sangat besar.

Pasar dalam negeri dijaga dan dikembangkan, terutama agar daya belinya meningkat. Tetapi, tanpa strategi daya saing ke pasar internasional, kedua negara tersebut tidak akan bisa meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Bagi negara-negara berpenduduk besar, pengelolaan pasar dalam negeri sangat penting karena pasar dalam negeri sesungguhnya juga merupakan arena persaingan pasar internasional, kecuali sektor-sektor yang dijaga dan diproteksi karena alasan perlindungan ekonomi.

Karena itu, menjaga dan memperkuat pasar dalam negeri juga merupakan bagian dari strategi induk, yang dikomplementasikan dengan strategi daya saing tersebut.

Pasar dalam negeri Indonesia sangat besar karena jumlah penduduknya yang sangat besar dan sebarannya sangat luas. Tidak hanya itu, kelompok atas dalam katagori 5% sampai dengan 10% memiliki daya beli yang sangat besar sehingga kekuatannya mampu mendorong lokomotif pertumbuhan ekonomi melalui sektor konsumsi.

Potensi pasar dalam negeri yang besar ini perlu dijaga secara selektif dengan tidak mempraktikkan perdagangan terbuka yang sangat liberal.

Kenyataannya, kondisi pasar dalam negeri kita saat ini masih kocar-kacir karena serbuan sejumlah besar produk Cina, yang tidak jelas kualitasnya dan tidak ada seleksi yang bagus untuk melindungi pasar dalam negeri. Jalur merah di bea cukai dan peranan departemen terkait tidak memadai sehingga pasar dalam negeri masih menjadi ajang persaingan global, yang tidak adil bagi Indonesia sendiri.

Sementara itu, produk Indonesia di Eropa dan AS dihalangi sangat luar biasa ketat, terutama ekspor perikanan, makanan, dan lainnya.

Masalah ini juga menjadi keprihatinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seperti dikemukakan dalam pidato kenegaraan, Agustus lalu. “Ekonomi Indonesia,” katanya, “Ekonomi 230 juta manusia yang akan terus bertambah, ekonomi tanah air seluas 8 juta kilometer persegi, juga harus memiliki kesinambungan. Pertumbuhan ekonomi yang kita pilih dan anut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa adil.”

Ke depan kita harus memperkuat ekonomi dalam negeri, pasar dalam negeri, dan tidak boleh hanya menggantungkan kekuatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan kita. Strategi yang hanya bersifat export oriented tentu bukanlah pilihan kita.

Jika diamati, strategi ekonomi induk yang disampaikan presiden tidak lain merupakan kombinasi penguatan ekonomi dalam negeri dengan strategi daya saing.

Pertama, pembangunan ekonomi Indonesia ke depan mesti lebih memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Kedua, ekonomi nasional mestilah berdimensi kewilayahan dengan pertumbuhan ekonomi yang tersebar di seluruh Tanah Air. Daerah-daerah harus menjadi kekuatan ekonomi lokal.

Dimensi strategi daya saing, menurut presiden, adalah membangun ekonomi nasional yang kuat berdasarkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan sekaligus keunggulan kompetitif (competitive advantage).

Karena itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, ekonomi nasional juga harus dijaga berdasarkan prinsip efisiensi dan berdasarkan mekanisme pasar yang sehat.

Beberapa waktu lalu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengritik pemerintah, yang dianggap menjalankan kebijakan dan program ekonomi tanpa strategi induk.

Kini jawaban atas kritik tersebut telah disampaikan pemerintah (presiden) secara terbuka dan gamblang melalui pidato kenegaraan yang formal.

Pemikiran strategis tersebut sudah bergulir. Kini tinggal langkah lanjutannya pada tingkat departemen, daerah, korporasi, dan level yang lebih luas, yakni masyarakat.

Didik J. Rachbini

Penulis adalah guru besar ilmu ekonomi dan juga pengajar pada Universitas Mercu Buana dan Universitas Indonesia.

No comments:

Post a Comment